Halo teman-teman sekalian, kali
ini saya akan melanjutkan tulisan saya yang kemarin masih tentang Asesmen
Alternatif yaitu, Landasan Psikologis serta Kelebihan dan Kekurangan Alternatif
Asesmen. Yuk disimak bersama-sama.
A. LANDASAN
PSIKOLOGIS
Asesmen
altematif tidak hanya menilai hasil belajar, tetapi dapat memberikan informasi
secara lengkap tentang proses pembelajaran. Asesmen tidak hanya menilai produk
belajar saja tetapi juga menilai proses belajar untuk menghasilkan peoduk
tersebut. Asesmen alternatif dilaksanakan berdasarkan teori belajar khususnya
dari aliran psikologi kognitif. Beberapa teori belajar yang digunakan sebagai
landasan dalam pelaksanaan asesmen alternatif adalah.
1.
Teori fleksibilitas kognitif dari R. Spiro
(1990)
Teori ini beranggapan bahwa hakikat belajar adalah
kompleks dan tidak terstruktur. Teori ini menjelaskan bahwa belajar akan
menghasilkan kemampuan secara spontan dalam melakukan restrukturisasi
pengetahuan yang telah dimiliki untuk merespons kenyataan atau situasi yang
dihadapi. Belajar tidak akan pernah berakhir, oleh karena itu diperlukan
penyesuaianpenyesuaian dengan situasi yang selalu berubah.
2.
Teori belajar Bruner (1966)
Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses aktif
yang dilakukan siswa dengan cara mengkonstruksi sendiri gagasan baru atau
konsep baru atas dasar konsep, pengetahuan, dan kemampuan yang telah dimiliki.
Siswa memilih dan mentransformasikan informasi yang diperolehnya, menyusun
hipotesis, dan membuat keputusan-keputusan atas dasar struktur kognitif yang
dimiliki. Menurut Bruner pembelajaran harus diarahkan pada belajar penemuan (discovery
learning). Setelah guru mengajarkan berbagai konsep, informasi, dan
keterampilan diharapkan anak dapat menerapkannya pada materi pembelajaran yang
lebih luas. Pembelajaran harus sesuai dengan minat anak. Anak harus didorong
untuk melakukan eksplorasi dan belajar sendiri. Discovery learning dapat
dilakukan dengan cara: (a) anak dihadapkan pada suatu masalah, (b) anak akan
membandingkan realita dengan model mental yang telah dimiliki, (c) dengan
pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali
struktur idenya untuk mencapai keseimbangan dengan cara melakukan analisis
sintesis, dan evaluasi untuk menemukan informasi baru dan membuang informasi
yang tidak perlu.
3.
Generative Learning Model dari Osborne dan
Wittrock (1983)
Inti dari generative learning model adalah bahwa otak
tidak hanya pasif menerima informasi tetapi aktif membentuk dan
menginterpretasikan informasi serta menarik kesimpulan dari informasi-informasi
tersebut. Otak akan menyeleksi informasi-informasi yang masuk dan akan
merekamnya. Pusat memori dan informasi diotak akan berinteraksi dengan pusat
sensori untuk menyeleksi informasi-informasi yang diterima dari lingkungan dan
kemudian aktif memaknai. Berdasarkan generative learning model, dalam belajar
siswa harus aktif memaknai apa yang sedang dipelajarinya. Untuk memahami apa
yang sedang dipelajari, siswa harus dapat membuat model atau menjelaskan
tentang apa yang sedang dipelajari kemudian mengorganisasikan informasi yang
sudah diseleksi berdasarkan pengalaman yang sesuai, logis, riil, atau keduanya.
Dengan cara tersebut ia akan dapat memunculkan informasi dari ingatannya dan
menggunakan strategi pengolahan informasi untuk membuat generalisasi makna
berdasarkan informasi yang masuk dan kemudian ditandai serta disimpan dalam
memorinya.
4.
Experiential learning Theory dari C. Rogers
(1969)
Teori ini membedakan dua jenis belajar yaitu cognitive
learning yang berhubungan dengan pengetahuan dan experiential learning
yang berhubungan dengan pengalaman. Teori ini menarik karena melibatkan pribadi
siswa, inisiatif siswa, penilaian diri siswa, dan dampak langsung yang terjadi
pada diri siswa dalam proses belajar. Dalam teori ini siswalah yang aktif dalam
belajar sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Menurut Keeton dan Tate
(Suciati dkk, 2002) belajar melalui pengalaman mengacu pada learning in
which the learners is directly in touch with the reality being studied.
5.
Multiple Intelligent Theory dari Howard Gardner
(1983)
Teori ini mulai diperkenalkan oleh Gardner pada Tahun
1983. Menurut Gardner intelegensia didefinisikan sebagai suatu kemampuan
seseorang yang digunakan untuk memecahkan masalah atau kemampuan untuk
menunjukkan suatu produk yang dihargai oleh satu atau Iebih budaya. Menurut
Gardner ada delapan kemampuan pada setiap individu yaitu: (1) Linguistic,
(2) Logicalmathematic, (3) Visual-spatial, (4) Bodily-kinesthetic,
(5) Musical, (6) Intrapersonal, (7) Interpersonal, dan (8)
Naturalist.
Linguistic intelligence merupakan kemampuan
seseorang dalam memahami bahasa. Anak yang tinggi kemampuan linguistiknya akan
mempunyai kemampuan penguasaan bahasa yang baik.
Logical-mathematic intelligence merupakan
kemampuan seseorang dalam menggunakan
logika-matematika. Seorang anak yang logika matematikanya tinggi ia akan
berkembang menjadi anak Yang rasional dengan logika matematika kuat.
Spatial intelligence merupakan kemampuan
seseorang dalam memahami konsep tata ruang. Apabila anak mempunyai kemampuan
spatial yang tinggi maka pemahaman terhadap tata ruangnya akan bagus. la dapat
menjadi arsitek yang baik.
Musical intelligence merupakan kemampuan
seseorang untuk memahami dan menghayati seni musik. Seniman biasanya kemampuan
musikalnya berkembang lebih baik dari kemampuan yang Iain.
Bodily-kinesthetic intelligence merupakan
kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa tubuh atau olah tubuh termasuk
keterampilan motorik. Anak yang mempunyai kemampuan ini akan mempunyai
psikomotor yang baik. Anak-anak tipe ini akan berhasil jika pembelajaran
diberikan dalam bentuk kegiatan yang melibatkan secara langsung anak dengan
objek yang dipelajari.
Interpersonal intelligence merupakan kemampuan
seseorang untuk memahami diri sendiri, refleksi diri, dan mengembangkan
interesnya melalui belajar mandiri. Anak yang kemampuan intrepersonalnya tinggi
akan berkembang menjadi pebelajar mandiri yang tangguh.
Intrapersonal intelligence merupakan kemampuan
seseorang untuk bekerja sama dengan orang Iain. Anak tipe ini akan mempunyai
kepekaan sosial yang tinggi.
Naturalist intelligence merupakan kemampuan
seseorang untuk mengenali dan mengklasifikasi sejumlah spesies yang ada di
lingkungannya. la akan mampu menunjukkan mana spesies yang bermanfaat dan mana
yang berbahaya. Anak yang mempunyai kemampuan naturalis tinggi akan mampu
mengenali gejala alam dengan baik.
Definisi ini berbeda dengan definisi
intelegensia sebelumnya. Sebelum Gardner mengenalkan teori ini, pengukuran
intelegensia seseorang hanya dilakukan berdasar kemampuan logical-mathematic
dan verbal linguistic sedangkan kemampuan-kemampuan yang Iain ditinggalkan.
Teori Gardner memperlihatkan dengan
jelas bahwa asesmen tidak boleh hanya mengukur sebagian dari kemampuan yang
dimiliki anak tetapi harus mampu mengukur keseluruhan kemampuan yang ada pada
anak.
B. KEUNGGULAN
DAN KELEMAHAN ASESMEN ALTERNATIF
Seperti halnya
alat ukur yang Iain, asesmen alternatif seperti performance assessment,
authentic assessment, dan portfolio assessment mempunyai keunggulan
dan kelemahan.
1.
Kelebihan asesmen alternatif antara Iain:
a)
Dapat menilai hasil belajar yang kompleks dan
keterampilanketerampilan yang tidak dapat dinilai dengan asesmen tradisional.
Asesmen alternatif menuntut Siswa untuk menunjukkan kinerja yang nyata yang
meliputi proses dan hasil. Hal yang demikian tidak dapat dilakukan oleh tes
tertulis. Tes tertulis lebih menekankan pada apa yang dlketahui siswa dengan
jawaban benar atau salah daripada apa yang dapat dikerjakan siswa. Tes tertulis
hanya dapat mengukur satu aspek saja yaitu aspek kognitif, sedangkan asesmen alternatif
menuntut berbagai kemampuan. Contoh: jika Jika ingin mengukur kinerja siswa
dalam membuat karangan maka banyak aspek yang dapat diukur dari tugas membuat
karangan tersebut. Misalnya kemampuan siswa dalam membuat paragraf yang baik,
pemilihan kosa kata yang tepat' kemampuan Siswa dalam menuangkan ide dalam
bentuk tulisan, kemampuan merangkai kata dan kalimat, dan kemampuan
berimajinasi.
b)
Menyajikan hasil penilaian yang lebih hakiki,
langsung, dan lengkap. Dengan melakukan asesmen akan dapat menilai hasil
belajar anak secara lengkap, tidak hanya hasil belajar dalam ranah kognitif
tetapi ranah afektifdan psikomotor. Dengan demikian semua aspek yang telah
dipelajari anak dapat terukur dengan baik.
c)
Meningkatkan motivasi siswa. Setelah memutuskan akan menggunakan asesmen
alternatif untuk menilai kinerja siswa, harus menyampaikan dan mendiskusikan
dengan siswa mengenai perencanaan yang telah dibuat. Dengan adanya forum
tersebut, siswa sudah mengetahui dengan pasti tugas apa yang harus mereka
kerjakan, bagaimana cara mengerjakan tugas tersebut, kapan tugas tersebut harus
dikumpulkan, dan bagaimana cara penilaian yang akan dilakukan terhadap tugas
tersebut, dengan cara tersebut maka siswa sudah mengetahui apa yang harus
dikerjakannya dan persyaratan apa yang harus mereka penuhi kalau mereka
menginginkan nilai yang baik. Dengan cara demikian maka motivasi anak akan
tinggi.
d)
Mendorong pembelajaran dalam siatuasi yang
nyata. Asesmen alternatif menekankan kepada apa yang dapat ditunjukkan atau
dikerjakan oleh siswa bukan apa yang diketahui siswa. Unjuk kerja tersebut
ditunjukkan dalam situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, misalnya unjuk
kerja siswa dalam mencangkok pohon mangga.
e)
Memberi kesempatan kepada siswa untuk selfevaluation.
Dengan menggunakan asesmen alternatif maka siswa akan mampu melakukan evaluasi
diri terhadap hasil karyanya. Mereka akan mampu melakukan penilaian terhadap
hasil karyanya karena mereka sudah mengetahui kriteria penilaian yang
digunakan.
f)
Membantu guru untuk menilai efektifitas
pembelajaran yang telah dilakukan. Guru yang baik selalu ingin mengetahui
keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Kegiatan tersebut dapat
dilakukan dengan cara membandingkan perencanaan pembelajaran yang telah dibuat
sebelumnya dengan hasil belajar yang dicapai siswa. Dengan asesmen alternatif,
guru akan dapat melihat keberhasilan pembelajaran dari unjuk kerja yang
dilakukan siswa. Dari portofolio siswa, guru dapat melihat hasil belajar dan
perkembangan belajar siswa dari waktu ke waktu melalui kumpulan hasil karya
siswa yang disimpan dalam folder.
g)
Meningkatkan daya transferabilitas hasil
belajar. Penilaian dalam arti asesmen menghendaki hasil belajar yang diperoleh
siswa sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan asesmen
diharapkan anak dapat menggunakan hasil belajar yang diperoleh di sekolah
untuk membantu memecahkan permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kelemahan
Asesmen alternatif:
a)
Membutuhkan banyak waktu jika melakukan asesmen
maka pada tahap awal membuat perencanaan yang matang. Perencanaan tersebut
perlu didiskusikan dengan siswa. Kesepakatan antara guru dan siswa tcrhadap
perencanaan pembelajaran dapat dianggap sebagai kontrak pembelajaran yang harus
dilaksanakan bersama olch guru dan siswa. Pada saat pembelajaran berjalan,
siswa mengerjakan tugas-tugas yang sudah ditetapkan dałam perencanaan. pada
saat yang sama guru harus aktif memonitor dan memberi umpan balik terhadap
tugas-tugas yang sedang dikerjakan oleh setiap siswa. Berdasarkan masukan guru,
setiap siswa memperbaiki tugasnya sampai hasil karyanya baik. Jika hal ini
dilakukan secara konsekuen maka guru akan memerlukan waktu yang sangat banyak.
b)
Adanya unsur subjektivitas dałam penskoran. Pemberian
skor dałam asesmen alternatif (asesmen kinerja atau portofolio) dilakukan
dengan menggunakan pedoman penskoran (rubric). Cara penskorannya hampir sama
dengan cara penskoran tes uraian. Pada saat menggunakan rubric untuk memberi
skor pada hasil karya siswa atau pada saat memberi skor ketika siswa sedang
melakukan unjuk kerja maka Anda tidak akan dapat memberikan skor secara
objektif. Subjektivitas sebagai pemberi skor pasti ikut mewamai hasil
penskoran. Yang harus diupayakan adalah bagaimana dapat meminimalkan unsur
subjektivitas tersebut.
c)
Ketetapan penskoran rendah. Rendahnya ketetapan
penskoran ini disebabkan karena tidak dapat memberi skor yang sama untuk hasil
karya beberapa siswa Yang mempunyai kualitas sama.
d)
Tidak tepat untuk kelas besar. Pada asesmen,
frekuensi penilaian secara individu jauh lebih besar daripada penilaian secara
kelompok. Pada saat pelaksana pembelajaran dan saat asesmen guru harus
mengamati dan memberikan umpan balik satu persatu. Dengan demikian asesmen
tidak cocok jika siswa yang ada di kelas jumlahnya banyak, misalnya lebih dari
20 anak. penilaian dengan menggunakan asesmen tepat untuk kelas kecil, paling
banyak 15.
Komentar
Posting Komentar